Kampus Merdeka: Kemerdekaan yang Mengkhawatirkan




Penulis: Muhammad Habib

Sekretaris Bidang Keilmuan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar


Kampus Merdeka merupakan inovasi paling terkini yang dilakukan Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Kampus merdeka pertama kali diluncurkan pada 24 Januari 2020 dengan empat kebijakan,  yaitu kebebasan perguruan tinggi mendirikan program studi baru, re-akreditasi universitas hingga program studi, peningkatan status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), dan yang terakhir kebebasan mahasiswa mengambil mata kuliah di luar program studi. Kebijakan inilah yang menjadi awal mula program-program kampus merdeka. Sampai saat ini, program kampus merdeka semakin berkembang dan beragam. Terdapat 12 program yang dijalankan hampir secara serentak, membuat mahasiswa bisa mendaftarkan diri di program yang lain jika memang tidak diterima di program unggulannya. Kampus Merdeka menjanjikan 20 SKS (Satuan Kredit Semester) konversi yang dapat dilakukan mahasiswa setelah program diselesaikan. Namun, dalam praktiknya masih banyak sekali kebingungan dan ketidakpastian yang diterima mahasiswa perihal konversi SKS maupun masalah lainnya.  

Salah satu kontroversi adanya program "Kampus Merdeka" hanya terpaku dalam metode belajar atau akademisi, tanpa tidak memberikan solusi atas permasalahan sosial yang terjadi di kampus. Mahasiswa yang merupakan kaum pemuda bangsa yang menjadi penentu masa depan suatu bangsa. Dengan perannya sebagai Social Control, tentu menuntut mahasiswa untuk bersifat lebih peduli dan memiliki rasa naionalisme yang tinggi. Namun, adanya Kampus Merdeka yang hanya terpaku dalam akademik tidak memberikan dampak sosial yang baik terhadap mahasiswa. Sehingga, kemungkinan terburuknya yaitu timbulnya jiwa-jiwa individualis yang tak peduli dengan lingkungan sekitar dan seolah-olah apatis dengan sesuatu yang terjadi di Masyarakat.

Kedua, penyempitan ruang gerak mahasiswa. Kampus Merdeka yang memberikan kesempatan untuk belajar di luar kampus menjadikan mahasiswa lalai dalam peranya sebagai social control dan agent of change. Sehingga ruang gerak mahasiswa untuk menjadi oposisi pemerintahan dan mendukung perubahan baik terhadap pemerintah semakin menyempit. Banyaknya mahasiswa yang memilih untuk mengikuti program Kampus Merdeka yang berdampak pada hambatnya lembaga keorganisasian mahasiswa.

Selanjutnya, ketika kita merefleksi kejadian beberapa tahun terakhir terjadi kasus pelecehan seksual yang diterima oleh mahasiswa PMM. Kejadian tersebut terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar awal Desember 2021. Mahasiswa peserta PMM yang mengikuti perkuliahan tatap muka di universitas penerima memang mendapat fasilitas tempat tinggal yang dibiayai oleh Kemendikbud. Dalam kasus di Makassar tersebut, tempat tinggal yang didapat peserta program adalah hotel yang dimiliki oleh universitas yang saat itu tidak memiliki fasilitas kamar mandi. Alhasil, mahasiswa yang memerlukan kamar mandi harus keluar hotel terlebih dahulu. Ternyata kamar mandi yang berada di dekat parkiran salah satu gedung kampus tersebut menyimpan kamera handphone di dalamnya. Mirisnya adalah sudah banyak video yang terekam sebelum mahasiswa yang menemukan kejanggalan di kamar mandi tersebut melaporkannya pada pihak yang terkait. 

Dari beberapa keresahan kampus merdeka di atas, dapat dilihat bahwa masih sangat jauh dari kata “merdeka”. Merdeka dari kebebasan pilihannya, merdeka dari haknya, dan merdeka dari rasa aman. Bahkan masalah-masalah yang tertulis di atas hanyalah berasal dari salah satu program saja. Banyak hal yang sebenarnya belum disiapkan Kemendikbud untuk kebijakan kampus merdeka. Tidak hanya mahasiswa, pihak-pihak program studi juga belum sepenuhnya siap akan target waktu pelaksanaan program yang harus dikejar. Terutama mengenai  pedoman konversi KRS yang dibutuhkan dengan segera. Prodi harus melayani berbagai kebutuhan mahasiswa dari berbagai program yang ditawarkan Kemendikbud. Meskipun demikian, pihak prodi juga tidak menyerah begitu saja melarang para mahasiswanya menjajal program kampus merdeka. Karena memang tujuan dari program-program tersebut memang baik dan dibutuhkan mahasiswa. Prodi maupun fakultas ikut mendorong mahasiswa mencoba dengan memberikan dukungan dan bimbingan. Tetapi memang tidak semua program relevan dengan cabang ilmu setiap prodi. Sehingga hal ini menjadi masalah tersendiri bagi prodi dan fakultas. 

Alangkah baiknya, pemerintah maupun Kemendikbud lebih sabar dalam mengelola program. Misalnya dengan mengeluarkan tiga program unggulan yang paling ditunggu mahasiswa. Baru selanjutnya program yang lain dikeluarkan di tahun setelahnya. Tujuannya adalah agar mahasiswa maupun pihak program studi mempersiapkan hal-hal yang bersangkutan lebih baik. Inspirasi dari program kampus merdeka ini juga tidak diragukan lagi. Misalnya program PMM yang terinspirasi dari kampus-kampus Ivy di Amerika Serikat, yang mana mahasiswa di berbagai kampus yang tergabung dalam Ivy League bisa mengikuti perkuliahan di luar kampusnya. Namun tentu saja, masih harus melalui proses yang panjang untuk dapat sampai di tahap tersebut. Dan sekitar tiga tahun program kampus merdeka ini terlaksana, pemerintah harus dapat mengambil evaluasi dari semua jenis program, mengingat setiap program melibatkan banyak pihak yang perlu penjelasan. 

Sikap Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Unismuh Makassar (HMJ PAI). Muhammad Habib berpendapat, kebijakan Mentri Nadiem sangat kental dengan pendekatan pasar. Mahasiswa ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan industri, sementara itu terdapat gap yang besar pada kualitas kampus satu dengan yang lainnya. Kebijakan Nadiem dianggap lemah karena tidak mempertimbangkan adanya ketimpangan pada kualitas perguruan tinggi, serta tidak melakukan mapping yang jelas. Ketimpangan itu setidaknya terlihat dari kesenjangan skor antar kampus dalam data ranking kampus nasional.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama