Suatu ketika, di sebuah warung kopi di tepi bukit yang masih jauh dari sentuhan para borjuis, saya dan teman-teman menikmati segelas kopi sambil membuka ruang diskusi—sebagaimana tujuan warkop itu sendiri. Dengan nada bercanda saya berkata, “Nggak lama lagi lomba makan kerupuk, nih.” Teman saya menimpali, “Emang kita masih merdeka?” Lalu seorang lainnya menyahut, “Kan dari dulu kita memang nggak pernah merdeka.”
Obrolan singkat itu membuat saya bertanya-tanya: Benarkah kita belum merdeka?
Banyak penulis dan penyair Indonesia, sejak lantunan Proklamasi dikumandangkan di halaman rumah Soekarno, sering menyinggung janji-janji yang pernah terucap dari lisan sang proklamator. Nama-nama seperti W.S. Rendra, Chairil Anwar, hingga Pramoedya Ananta Toer tak jarang mengupas persoalan ini. Wajar, sebab dunia sastra memandang kemerdekaan sebagai sebuah proses panjang—bukan sekadar mengusir penjajah.
Kilas balik ke masa lalu, dalam buku Menuju Merdeka 100%, diceritakan pertemuan Tan Malaka dengan Soekarno, Hatta, dan Haji Agus Salim, beberapa bulan setelah proklamasi. Ia berkata:
> “Kepada kalian, para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan? Aku merasa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tanpa menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang padamu, wahai Soekarno sahabatku, untuk mengatakan bahwa kita belum merdeka. Merdeka harus 100%! Yang ada sekarang hanyalah kemerdekaan kaum elit yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka cita menjadi amtenar. Kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat. Kita telah salah memahami arti merdeka. Jika kalian tidak segera memperbaikinya, sampai kapan pun bangsa ini tidak akan pernah merdeka. Hanya para pemimpin yang akan merasakan kemerdekaan, keadilan, dan kemakmuran itu. Dengarlah perlawananku ini, sebab jika kalian tetap bersikap demikian, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai sahabat. Besok aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan terus berjuang demi merdeka 100%.”
Namun, teman-teman sekalian, setelah membaca secuil narasi dari Tan Malaka, jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa segala dinamika yang terjadi di “Negeri Kolam Susu” ini sepenuhnya ulah para elit. Melihat realitas sekarang, banyak masyarakat justru bersikap apatis. Tak jarang saya mendengar kritik terhadap para demonstran: “Bikin macetlah, nyusahin oranglah, menghambat rezeki oranglah.” Seolah perjuangan di jalan raya tak ada artinya.
Mungkin tugas mahasiswa yang selama ini disebut “penyambung lidah rakyat” kini telah bergeser menjadi “penyambung tangan Indonesia” secara formalistik—lebih dekat pada simbolisme ketimbang perjuangan substansial.
Maka, pertanyaan yang menjadi judul opini ini—“Kita masih merdeka? Atau memang tak pernah?”—rasanya tak perlu dijawab panjang lebar. Sebab bendera Merah Putih yang kini berkibar di seluruh pelosok negeri seakan kehilangan maknanya. Kemerdekaan hakiki yang diimpikan masih terbelenggu di dalam angan.
- Labib (Anggota Bidang Organisasi HMJ PAI Inventif Periode 2025-2026)