Respon Isu Pertemuan LGBT se-ASEAN: Melanggar Nilai dan Ajaran Ketuhanan

 


Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi topik hangat dan semakin marak diperbincangkan, baik di Indonesia khususnya, maupun dunia secara global. Terlebih lagi sekarang masyarakat Indonesia tengah dihebohkan terkait wacana pertemuan LGBT se-ASEAN di Jakarta. Tentu saja ini menimbulkan kontroversi  di setiap elemen masyarakat meski masih sekadar wacana.

Hemat saya, jika pertemuan ini benar-benar terlaksana di Indonesia tentunya ini akan banyak menimbulkan dampak negatif. Selain itu menganalisa wacana ini, saya melihat bahwa ini  merupakan upaya kampanye LGBT di Indonesia dan akan mempengaruhi perkembangan pemikiran masyarakat khususnya kaum millenial di  Indonesia.

Tidak ada agama manapun yang melegalkan dan membenarkan praktek LGBT ini begitupun kearifan budaya bangsa Indonesia, dasar negara, konstitusi dan berbagai aturan turunannya seperti KUHP jelas menolak perilaku menyimpang tersebut. Karena jelas perilaku itu melanggar nilai dan ajaran ketuhanan serta bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang beradab.

 Namun apabila pemerintah Indonesia berpegang pada hukum sebagaimana yang kita ketahui bersama sebagai salah satu negara hukum (Rechtstaat) menjamin kebebasan berekspresi dalam UUD 1945 Amendemen II, yaitu Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya".

Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Kelompok LGBT di bawah payung “Hak Asasi Manusia” meminta masyarakat dan Negara untuk mengakui keberadaan komunitas ini, bila kita melihat dari Konstitusi yakni dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan sebagai berikut :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Saya rasa pemerintah harus bijak dalam menyikapi hal ini karena apabila pemerintah salah dalam mengambil keputusan Maka akan menimbulkan problematika baru dan dahsyat. Menurut saya sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) saya rasa sudah tepat mengambil keputusan untuk mencegah hal ini.

Hasil pengakajian kami di Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (HMJ PAI) dengam melihat sekelumit probpematika penolakan ini. Tentunya secara kelembagaan mengambil sikap dengan tegas menolak wacana pertemuan ini.


Penulis: Muhammad Tegar Ali Simran

Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama